Sabtu, 03 Januari 2009

Syari’ah dan Korelasinya dengan Aqidah dan Mazdhab

Pendahuluan
Akhir-akhir ini wacana tentang syari’ah mulai ramai kembali menjadi topik bahasan di beberapa forum kajian. Bukan hanya karena istilah syari’ah itu sendiri memang telah eksis sejak empat abad yang lalu, namun juga karena mencuatnya usulan agar dicantumkannya kembali Piagam Jakarta belum lama ini yang memuat tujuh kata yang di dalamnya terdapat kata syari’at, yaitu “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam amandemen UUD 45.

Di sisi lain, tidak sedikit di antara umat Islam, termasuk di dalamnya dari kalangan terpelajar, merasa “alergi” dengan istilah tersebut. Hal ini disebabkan karena gencarnya ghozwul fikri (perang pemikiran) yang dilakukan pihak-pihak tertentu dengan memberikan asumsi bahwa syari’at Islam identik dengan hal-hal yang berbau “keras”, seperti hukum qishas, rajam, jilid, potong tangan dan lain sebagainya. Atau karena ketidaktahuan beberapa umat Islam tentang hakikat syariah Islam. Sehingga tidak jarang usulan untuk menerapkan syari’at mendapat pertentangan bukan dari umat lain, tapi justru dari kalangan umat Islam sendiri. Padahal persoalan tentang hukum-hukum di atas hanyalah sebagian kecil saja dari sederetan hukum yang ada dalam syari’at Islam yang sebenarnya hal-hal tersebut tidak akan terjadi bila umat telah menjalankan syari’at Islam yang sangat mudah dan toleran ini (al-hanafiyah al-samhah).

Di samping kesalahpahaman tentang syari’ah di atas, terdapat juga kesalahpahaman dalam mendefinisikan syari’ah. Di antara mereka ada yang mendefinisikan syariah sebagai aqidah saja atau fiqih saja. Bahkan lebih fatal lagi bila jangkauan syariah dipersempit kepada pemahaman aliran mazdhab tertentu dalam fiqih. Hal ini dapat dimaklumi karena mereka mengklasifikasikan “dien” ini kepada tiga kerangka bahasan sebagaimana hadist riwayat Muslim tentang Iman, Islam dan Ihsan, dimana Iman dikategorikan pada bidang kajian aqidah, ushuluddin dan tauhid. Sedangkan Islam dikategorikan sebagai syari’ah yang kemudian dijabarkan melalui ilmu fiqih. Sedangkan Ihsan dimasukan dalam kajian ilmu suluk atau akhlaq yang sebagian pakar menjabarkannya dalam ilmu tasawuf.

Untuk mencoba mendudukkan persoalan di atas, penulis mencoba mengetengahkan makalah ini dengan judul: Syariah dan Korelasinya dengan Aqidah dan Madzhab.

Definisi Syari’ah
Secara etimologi (lughotan) kata “syari’ah” memiliki berbagai makna, di antaranya adalah bermakna mauridu al-maa artinya sumber air. Syariat juga dapat dimaknakan dengan al-thoriqoh al-mustaqimah atau jalan lurus yang tidak berbelok. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:

ثم جعلناك على شريعة من الأمر فاتبعها

“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu jalan (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah” (Al-jaatsiyah: 18)

Dinamakannya syari’at secara bahasa sebagai sumber air karena mempunyai hubungan yang sama yakni dapat “menghidupkan”. Sebagaimana air dapat “menghidupkan” tubuh, maka syari’at dapat “menghidupkan” jiwa dan akal. Sedangkan makna syari’at sebagai jalan lurus, karena hukum-hukum yang terdapat dalam Islam bersifat lurus dan tidak ada yang menyimpang.

Sedangkan makna syari’at secara terminologi (istilahan) adalah segala hukum yang diturunkan Allah SWT untuk hamba-hambaNya yang telah dibawa oleh RasulNya, baik yang berhubungan dengan amal perbuatan, seperti ibadah dan mu’amalah maupun yang berhubungan dengan keyakinan (i’tikad) seperti mengesekan Allah (tauhid).

Syari’at juga dapat diitlaq-kan dengan istilah al-dien (agama) dan al-millah. Disebut al-dien dipandang dari sisi bahwa undang-undangnya ditaati. Sedangkan disebut al-millah dilihat dari sisi bahwa undang-undang tersebut tertulis.

Syariat dan Hubungannya dengan Aqidah
Islam kalau kita sederhanakan, terbagi pada dua aspek, yaitu aqidah dan amal, atau iman dan suluk (upaya-upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah).

Hal-hal yang berkenaan dengan aqidah merupakan bahasan dalam ilmu tauhid. Adapun fiqih adalah satu disiplin ilmu yang bidang garapannya adalah amal (perbuatan) manusia ditinjau dari hukum-hukum syariat. Adapun tasawuf, bidang garapannya adalah amalan-amalan batin.

Ilmu-ilmu ini ada yang disusun dalam satu paket, seperti yang pernah dilakukan Imam al-Ghazali (505 H) dalam karyanya yang terkenal “Ihya Ulumuddin”. Dalam kitab itu memuat semua hal yang wajib diketahui oleh umat Islam, baik aqidah, fiqih atau suluk (baca: tasawuf). Dan yang terakhir ini mendapat perhatian lebih banyak dari lainnya. Sedangkan ulama kontemporer yang memuat tiga bahasan ini sekaligus dalam bukunya antara lain Abu Bakar Al-Jazairi dalam karyanya : “Minhajul Muslim” yang memuat pembahasan tentang aqidah, fiqih dan akhlaq (tidak mengisitilahkan dengan tasawuf).

Sementara itu ada pula ulama yang memasukkan pembahasan tauhid dan aqidah dalam ilmu fiqih. Dan kemudian diistilahkan dengan “al-fiqh al-kabir”. Hal ini seperti yang dilakukan Imam Hanafi menurut sebagian riwayat. Sebagian ulama seperti Ibnu Abi Zaid Al-Qoirowani (386 H) memasukkan kajian aqidah dan akhlaq dalam buku yang obyek utama pembahasannya adalah masalah fiqih, seperti dalam kitabnya “Ar-risalah”. Kitab ini sangat popular di kalangan mazdhab Maliki dan telah disyarahi oleh beberapa ulama setelahnya. Dalam kitab ini Ibnu Zaid mengawalinya dengan bahasan aqidah dan diakhiri dengan pembahasan hukum yang berkaitan dengan akhlaq serta hukum halal dan haram.

Dari kenyataan ini serta dengan mengacu kepada definisi tentang syariat di atas, dapat kita simpulkan bahwa syari’ah mencakup berbagai aspek, baik aqidah, ibadah, mua’malah maupun akhlaq. Dengan demikian syari’ah bersifat lebih luas cakupannya dari aqidah. Dan aqidah adalah bagian dari syari’ah.

Kesimpulan ini didasarkan kepada beberapa kenyataan bahwa banyak ayat al-Quran dan hadist Nabi yang mengkaitkan antara ibadah dengan aqidah sebagai suatu kesatuan. Seperti beberapa ayat al-Quran yang mengkaitkan kata iman (beriman) dengan kata amal soleh. Iman disini berdimensi aqidah dan tauhid, sedangkan amal soleh berdimensi ibadah, mu’amalah dan akhlaq.

Demikian juga hadist Nabi banyak mengaitkan hal di atas, seperti mengaitkan kata iman kepada Allah dan hari Akhir dengan sikap menghormati tamu atau tetangga. Juga mengaitkan kata iman dengan sikap mencintai saudaranya sesama muslim dan lain sebagainya.

Dari uraian di atas dapat kita pahami bahwa syari’ah bersifat universal sebagaimana sifat syumuliah Islam itu sendiri. Dengan demikian sifat totalitas dalam berIslam adalah sebagai hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, sebagaimana firman Allah SWT:

بآأيها الذبن آمنوا ادخلوا فى السلم كافة ولا تتبعوا خطوات الشيطان انه لكم عدو مبين

”Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya Syaitan itu musuh yang nyata bagimu” (Al-Baqarah: 208)

Hubungan Antara Syariat dengan Madzhab
Sebagian umat Islam berasumsi bahwa syari’at Islam identik dengan fiqih. Padahal bila kita mengacu kepada definisi tentang syari’at serta uraian di atas, jelas bahwa syari’ah lebih luas dibanding dengan fiqih, karena fiqih itu sendiri adalah “suatu ilmu tentang hukum-hukum syari’ah yang bersifat amaliyah yang diambil dari dali-dalilnya yang terperinci”. Jadi pembahasan fiqih hanya menyangkut masalah-masalah yang bersifat amaliyah. Sedangkan syari’at menyangkut masalah-masalah ‘aqadiyah, amaliyah dan akhlaqiyah.

Ada beberapa perbedaan mendasar antara syari’ah dan fiqih, antara lain:
1. Syari’ah adalah suatu hal yang diturunkan Allah SWT, sedangkan fiqih hanyalah merupakan pemahaman ulama terhadap Islam.
2. Syari’ah semuanya merupakan suatu kebenaran, sedangkan fiqih terkadang ada salahnya.
3. Syari’ah mencakup bidang aqidah, hukum amaliyah dan akhlaq, sedangkan fiqih hanya khusus membahas hal-hal yang bersifat hukum amaliyah saja.
4. Syari’ah datang dengan sempurna tanpa ada cacat serta berlaku bagi seluruh manusia, sedangkan fiqih tidak demikian. Sesuatu yang sesuai dengan syari’at ia berlaku bagi manusia, sedangkan yang tidak sesuai dengan syariat, tidak berlaku.

Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa terdapat perbedaan yang mendasar antara syari’at dan fiqih sebagaimana tersebut di atas. Namun demikian kita pun tidak menafikan pentingnya fiqih sebagai sebuah disiplin ilmu. Karena ia merupakan salah satu perangkat memahami syariat.

Sementara di sisi lain, banyak juga di kalangan umat Islam membatasi syari’at sebagai sebuah aliran madzhab tertentu dalam fiqih. Bahkan tidak sedikit di antara organisasi Islam yang bahkan di dalam Anggaran Dasarnya tercantum, bahwa dalam pengambilan hukumnya mengacu kepada empat madzhab, namun kenyataannya bila beberapa pengikutnya mengikuti salah satu madzhab yang berbeda dengan madzhab yang dipegang mayoritas anggotanya, maka dianggap sebagai sesuatu hal yang ganjil dan aneh, Sehingga ia dianggap sebagai orang yang tidak taat pada peraturan organisasi tersebut, atau bahkan disebut sebagai pembawa ajaran baru.

Tentunya kondisi ini dapat mengakibatkan kaburnya definisi syari’at yang kita sebutkan di atas. Hal ini pun dapat mempersulit pemeluk Islam dalam menjalankan syariatnya. Sebab pemahaman sempit terhadap madzhab akan mempersempit gerak hukum, dimana tatkala tidak ditemukan hukum tentang masalah tertentu dalam madzhabnya, maka ia akan merasa kesulitan dalam menetapkan hukum. Sementara itu syari’ah sendiri diturunkan untuk memudahkan bukan mempersulit, menggembirakan bukan menjauh-jauhkan.

Berpegang pada satu madzhab saja akan menyulitkan dan mempersempit ruang lingkup syari’ah. Padahal syari’ah dengan khazanah nash-nashnya, madzhab-madzhabnya dan pendapat-pendapat fiqihnya telah membuktikan betapa luasnya dan lenturnya hukum yang ada pada syari’ah ini.

Para ahli fiqih banyak mencela dan mengkritik taklid. Seorang yang taklid tidak digolongkan sebagai orang yang alim agama. Karena taklid ialah: mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya. Sedang ittiba’ ialah mengikuti pendapat orang lain dan mengerti dalil yang menguatkannya. Sikap Ittiba’ ini tidak mendapat celaan sebagaimana taklid.

Ibnu al-Qoyyim al-Jauziyah mengatakan: “Seorang yang taklid pada hakikatnya telah menyia-nyiakan fungsi akal yang telah diberikan kepadanya. Karena akal diciptakan untuk dipakai berfikir dan bertadabbur. Sangat celakalah orang yang telah diberi lilin untuk meneranginya, kemudian ia dipadamkan dan ia berjalan di tengah kegelapan”. (Talbis Iblis hal. 81). Bahkan Ibnu al-Qoyyim telah membantah pendapat ulama-ulama yang mengajak pada tradisi taklid dan fanatik dengan delapan satu argumentasi. (lihat A’lamul Muwaqqi’in)

Sikap bebas untuk tidak berpegang pada satu madzhab tertentu bukan berarti mengecilkan atau meremehkan madzhab-madzhab tersebut. Tak ada seorang ulama pun yang bermaksud demikian. Ibnu Taimiyah dalam “Rof’ul malam ‘anil a’immatul alam” menerangkan tentang kekurangan para Imam madzhab dalam kaitannya dengan hadist. Menurut penilaian Ibnu Taimiyah, imam madzhab tersebut terkadang melalaikan atau meninggalkan hadist-hadist Nabi yang sebenarnya bisa dipakai sebagai argumentasi bagi pendapat-pendapatnya.

Bebas madzhab bukan berarti kita tidak memerlukan fiqih madzhab serta khazanah kitab-kitab fiqih yang telah banyak memberikan manfaat dan konstribusi yang cukup besar bagi perkembangan hukum Islam. Tapi bebas madzhab yang kita maksudkan ialah memandang madzhab secara terbuka sehingga dengan keterbukaan ini kita dapat memilih pendapat-pendapat yang dalil dan argumentasinya lebih kuat, dengan tanpa mempermasalahkan dari madzhab atau pendapat itu bersumber.

Ajakan tentang bebas mazdhab ini bersandarkan pada beberapa argumentasi, di antaranya:
1. Berpegang pada mazdhab tertentu, berarti mengharsukan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh agama dan syari’ah. Allah dan rasulNya tidak memerintahkan atau mewajibkan seorang muslim untuk berpegang pada satu mazdhab dari sekian madzhab yang populer di kalangan umat Islam. Yang diwajibkan hanyalah mengikuti al-Quran dan al-hadist. Munculnya madzhab ini baru terjadi setelah agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW ini disempurnakan dan tidak diturunkannya lagi wahyu. Tepatnya pada abad 2 dan 3 hijriyah madzhab-madzhab itu bermunculan. Jadi sangat tidak mungkin sekali jika kewajiban untuk berpegang pada satu madzhab tertentu itu didasarkan pada teks al-Quran maupun al-Hadist.
2. Imam-imam madzhab sendiri melarang agar umat Islam tidak mengikuti (taklid) terhadap ijtihad dan pendapat mereka. Hal ini seperti yang diriwayatkan oleh Al-Hafid Ibnu Abd al-Barri yang kemudian dinukil oleh Ibnu al-Qoyyim, yang menerangkan bahwa kewajiban untuk mengikuti madzhab tertentu, tidak ada dasar tekstual dari al-Quran dan al-Hadistnya. Kewajiban ini hanya di sandarkan pada pendapat golongan muqollidin (ulama-ulama yang taklid fanatik terhadap madzhab tertentu). Pendapat mereka ini tidak boleh kita pegang, bahkan seandainya mereka berijma’ (sepakat) untuk berpendapat tentang wajibnya taklid pada madzhab, ijma’ mereka ini tidak dilegalkan secara hukum, karena ‘ijma yang sah adalah ijma’nya golongan mujtahidin.
3. Ulama-ulama yang statusnya muqollid (pengikut madzhab) sendiri banyak yang menetapkan, bahwa masyarakat muslim awam adalah golongan yang tidak bermadzhab. Madzhab mereka ini sesuai dengan mufti-mufti mereka. Mayoritas kaum pelajar yang meminta fatwa kepada ulama tertentu dan memintanya agar menyusun satu buku fiqih modern yang disajikan secara khusus agar mudah dipahami, pada hakekatnya mereka termasuk kelompok yang tidak bermadzhab. Madzhab mereka ini mengikuti ulama-ulama di zamannya.
4. Paradigma fiqih dan problematika madzhab telah menjadi permasalahan tersendiri bagi mereka yang masuk Islam. Madzhab apa yang seyogyanya kita ajarkan pada mereka ? Adakah patut kiranya jika kita mengatakan kepada mereka bahwa dalam Islam terdapat banyak paradima, sehingga mereka bisa memilih salah satunya ? Sejak seperempat abad yang lalu umat islam yang hidup di luar dunia Islam (Eropa dan Amerika) meminta kiriman buku yang membahas lebih dari 30 tema kepada lembaga dakwah Al-Azhar dan Kementerian Awqaf Mesir. Buku-buku ini diharapkan oleh mereka dapat menjawab tantangan budaya dan keinginan di sana. Tepatkah kiranya jika buku-buku yang akan kita kirim ke sana memuat semua pendapat-pendapat madzhab? Atau cukup kita susun pendapat-pendapat yang kita anggap rajih (unggul) menurut ukuran kaidah Islam ?
5. Kalangan pemikir modern saat ini, menuntut kepada ahli fiqih untuk dapat menghadirkan fiqih dalam bentuk baru, yaitu fiqih yang disusun dalam materi perundang-undangan. Apakah kita akan menyajikan perundang-undangan fiqih modern ini terbatas pada paradigma empat madzhab saja? Atau kita sajikan dengan mengambil pendapat yang paling rajih dari semua madzhab dan kuat dalilnya menurut tinjauan al_Quran dan al-Hadist?.

Penutup
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan:
1. Syari’ah ialah segala hukum yang diturunkan Allah yang dibawa para RasulNya untuk manusia yang mencakup masalah aqidah, amaliyah dan akhlaq serta seluruh aspek kehidupan. Ia sebagai sesuatu kebenaran yang datang dari Allah. Dan karenanya kita wajib mentaatinya secara total (kaffah)
2. Aqidah adalah bagian dari syari’at yang membahas tentang keimanan dengan segala bagiannya.
3. Perbedaan antara syari’at dan aqidah adalah bahwa setiap aqidah sudah pasti syari’at, tapi tidak setiap syari’ah itu aqidah.
4. Sikap fanatisme madzhab perlu dikaji kembali, karena selain mempersempit gerak seseorang dalam menjalankan syari’at, juga akan terjebak kepada pemahaman Islam secara parsial (juz’i). Sedangkan syari’at Islam bersifat mudah, luas dan luwes serta kaffah dan syamil (universal).


Muhammad Jamhuri

Bahan Refrensi:
Dr. Atiyah, Mudzakaroh Maqoshid al-Syari’ah
Ibnu al-Qoyyim al-Jauziyah, A’lamul Muwaqqi’in
Ibnu al-Qoyyim al-Jauziyah, Talbis Iblis
Ibnu Taimiyah, Rof’ul malam ‘anil a’immatul alam
Abdul Karim Zaidan, Ushul Fiqih
Dr. Yususf al-Qordhowi, Menuju Simplikasi Fiqih Modern (terjemah dari majalah Al-Manhal 1997)